Dosen Perbankan Syariah Havis Aravik menjadi Narasumber dalam bedah buku

11 Desember 2020

 

 

STEBIS IGM - Dosen Perbankan Syariah Havis Aravik menjadi Narasumber dalam bedah buku bertema Tema Ghazwul Fikri.

Salah satu tema krusial yang jarang diangkat dalam khazanah pemikiran Islam di Indonesia khususnya adalah Ghazwul Fikri atau perang pemikiran. Tema ini tidak familiar bila dibandingkan tema-tema keislaman lainnya seperti tauhid, munakahat, muamalah, ushuluddin, fiqh, kalam dan lain sebagainya.

 

   

 

Oleh karena itu, untuk mensosialisasikan tema tersebut agar dapat dipahami dan dimengerti dengan baik LIDMI (Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia) Cabang Kota Kendari Sulawesi Tenggara membuat acara bedah buku Ghazwul Fikri: Pola Baru Menyerang Islam yang dikarang Havis Aravik, M.S.I., MM Dosen Sekolah Tinggi Ekonomi dan Bisnis Syariah (STEBIS) Indo Global Mandiri Palembang dalam beberapa sesi. Sesi 1 dimulai tanggal 25 November 2020, sesi kedua tanggal 9 Desember 2020 dan Sesi ketiga insya Allah akan dilaksanakan tanggal 23 Desember 2020 jam 20.30 WITA atau 19.30 WIB, dengan peserta dari berbagai daerah di Indonesia, baik dari Indonesia bagian Barat, Indonesia bagian Tengah maupun Indonesia bagian Timur.

 

Secara umumGhazwul fikr merupakan strategi terbaru musuh-musuh Islam dimana menyerang Islam tidak lagi menggunakan senjata, berhadapan (face to face) melainkan menggunakan pemikiran. Sebagaimana dinyatakan Henry Martyn, salah satu arsitek ghazwul fikr, “Aku datang untuk menemui umat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan kekuatan, tapi dengan logika, tidak dalam benci tapi dalam cinta.” Dengan tujuan utama adalah 1), Ifsad al-Akhlak, Perusakan akhak (QS. 61:8, 9: 32). 2), 2),Tahzhim al-Fikrah, penghancuran pemikiran (QS. 4: 60). 3), 3),Idzabah al-Syakhsiyyah, melunturkan atau melarutkan kepribadian (QS. 68: 6, 4: 89). 4), Al-Riddah, penumbangan aqidah. dan 5), al-wala lil kafirin, loyalitas kepada kaum kafir (QS. 5: 51).

 

 

 

Salah satu bentuk dari ghazwul fikr adalah disebarkannya paham (isme-isme) modern ke dalam dunia Islam melalui berbagai sarana seperti fashion, fun, food, foundation, song, sinema, school, sex, maupun sport. Adapun isme-isme tersebut adalah sebagai berikut;Pertama, Sekularisme. Sekularisme adalah gerakan dalam masyarakat yang mencoba memisahkan urusan luar dunia dari dunia ini. Sekularisme terbagi menjadi dua macam. Sekularisme objektif dan subjektif. Sekularisme objektif terjadi bila secara struktural atau institusional terdapat pemisahan antara agama dengan negara. Sedangkan sekularisme subjektif terjadi bila pengalaman sehari-hari tidak dapat lagi dipetakan dalam agama, ada pemisahan antara pengalaman hidup dengan pengalaman keagamaan (Kuntowijoyo, 1997). George Jacob Holyoke adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah sekularisme pada  tahun 1864 M.

 

 

Sekularisme beranggapan, bahwa kehidupan duniawi ini adalah mutlak dan terakhir. Tiada lagi kehidupan sesudahnya, yang biasanya oleh agama disebut sebagai Hari Kemudian, Hari Kebangkitan dan sebagainya. Di lihat dari perspektif Islam, maka Sekularisme tidak lain adalah perwujudan modern dari paham dahriyyah, seperti diisyaratkan dalam al-Qur’an surah al-Jatsiyah ayat 24; ” Dan mereka berkata: "Kehidupan Ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.

 

 

Selain itu, sekularisme menganut paham pengosongan nilai-nilai rohani dari alam tabi’i (disenchantment of nature), dimana hal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan pandangan hidup Islam tentang alam. Al-Qur’an menegaskan bahwa alam semesta adalah ayat manifestasi lahir ataupun batin Tuhan. Alam memiliki makna keteraturan dan harus dihormati karena memiliki hubungan simbolis dengan Tuhan. Sekularisasi telah mengikis dan menghilangkan hubungan simbolis ini. Hasilnya, alam tidak perlu dihormati. Hubungan harmonis antara manusia dan alam telah diceraikan dan dihancurkan. Hasilnya, manusia akan terdorong untuk melakukan segala macam kezaliman, kemusnahan, dan kerusakan di atas muka bumi. Maka, alam menjadi korban eksploitasi yang hanya berharga demi sekedar kajian scientific dan penelitian ilmiah. Sekularisasi telah menjadikan manusia menuhankan dirinya untuk kemudian berlaku tidak adil terhadap alam (Armas, 2003). Selain itu, Sekularisme juga memandang konsep-konsep mengenai Tuhan dan agama hanya sebagai hasil ciptaan manusia yang ditentukan oleh kondisi-kondisi sosial, bukan ditentukan oleh kebenaran wahyu. Bagi kaum sekularis, doktrin agama dan Tuhan relatif dan tergantung pada penemuan-penemuan umat manusia (Hidayat, 2009).

 

 

Menurut Muhammad Natsir (1999), kaum sekularis memandang konsep-konsep mengenai Tuhan dan agama hanya sebagai hasil ciptaan manusia yang ditentukan oleh kondisi-kondisi sosial, bukan ditentukan oleh kebenaran wahyu. Bagi kaum sekularis, doktrin agama dan Tuhan relatif dan tergantung pada penemuan-penemuan umat manusia. Dan tolak ukur kebenaran dan kebahagiaan manusia semata-mata ditentukan oleh materi (benda). Tentu saja konsep dan pandangan seperti ini sangat berbahaya, sehingga sangat tepat ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Munasnya yang ke-7 pada 25-29 Juli 2005, di Jakarta, telah menetapkan fatwa tentang haramnya Sekularisme. Karena sebuah paham yang memisahkan urusan duniawi dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.

 

 

Kedua, Liberalisme. Liberalismeadalah sebuah paham yang memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan Hadits) menggunakan akal pikiran yang bebas; hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. Paham ini jelas membahayakan Islam. Sehingga jauh-jauh hari Yusuf Qaradhawi sudah mewanti-wanti dengan menyatakan bahwa pada zaman sekarang ini kita mendapati ada orang yang meragukan keharaman khamr atau riba atau tentang bolehnya thalaq dan berpoligami dengan syarat-syaratnya. Ada yang meragukan keabsahan sunnah Nabi saw. sebagai sumber hukum. Bahkan ada yang mengajak kita untuk membuang seluruh ilmu Al-Qur’an (ulumul Qur`an) dan seluruh warisan ilmu pengetahuan al-Qur`an ke tong sampah untuk kemudian memulai membaca al-Qur’an dari nol dengan bacaan kontemporer, dengan tidak terikat dengan oleh suatu ikatan apa pun, tidak berpegang pada ilmu pengetahuan sebelumnya, juga tidak dengan kaidah dan aturan yang ditetapkan oleh ulama umat Islam semenjak berabad-abad silam. Padahal ilmu-ilmu tersebut dibangun dengan metodologi yang super hati-hati dan syarat-syarat mujtahid yang sangat ketat.

 

 

Untuk itulah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Munasnya yang ke-7 pada 25-29 Juli 2005, di Jakarta, telah menetapkan fatwa tentang haramnya Liberalisme. Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan bahwa target liberalisme adalah menghancurkan Islam dengan tikaman dari dalam, menimbulkan keraguan terhadap Islam dan hukum-hukumnya, memalingkan umat Islam dari jalan Allah, dan menjauhkan kaum muslim dari Islam. Selain itu, menurut kebebasan merupakan sebuah konsep yang tidak jelas ke mana manusia mau dibawa. Kebebasan itu lebih banyak merusak, bukan memperbaiki manusia. Menurut Nuim Hidayat (2009) seseorang yang melakukan hubungan seksual sebebas-bebasnya, orang bebas minum dan makan apa saja, orang berpakaian seenak nafsunya, maka yang terjadi pada orang-orang itu adalah kerusakan.

 

 

Ketiga, Pluralisme Agama.  Paham ini, pada dasarnya menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau mereka menyatakan bahwa agama adalah persepsi relative terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga – karena relativitasnya – maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim dan menyakini, bahwa agamanya sendiri yang benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar.

 

 

Menurut Muhammad Quraish Shihab (2007) pendapat semacam ini nyaris menjadikan semua agama sama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta ibadah yang diajarkannya. Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani dipersamakan, padahal keduanya saling mempersalahkan. Bagaimana mungkin yang ini dan itu dinyatakan tidak akan diliputi rasa takut dan sedih, sedang yang ini menurut itu – dan atas nama Tuhan yang disembah – adalah penghuni surga dan yang itu penghuni Neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan yang itu, bukan saja takut tetapi disiksa dengan aneka siksa.

 

 

Keempat, Utilitarianisme. , yakni suatupaham yang didirikan Jeremy Betham (1748-1832) dan Jhon Stuart Mill (1806-1873) yang menyatakan bahwa the greatest happiness of the greatest number atau kebahagiaan adalah segalanya. Di lihat dari pandangan Islam, aliran ini sangat berbahaya karena akan menghalalkan segala cara agar mendapat kebahagiaan yang diimpikan. Sedangkan Islam sendiri dengan konsep rahmatan lil alamien-nya mempunyai ajaran al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ’an al-munkar artinya mengajak sebanyak-banyaknya manusia untuk selalu melaksanakan kebaikan agar mendapat kebahagiaan hakiki dan mencegah manusia sebanyak-banyaknya dari perbuatan tercela agar tidak terjebak pada perbuatan-perbuatan yang merugikan baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

 

Menurut al-Mawardi maksud dan tujuan diwajibkannya al-amar bi al-ma’ruf  di dalam Islam adalah untuk menekankan betapa pentingnya melakukan perintah-perintah Allah (yang tentunya terkandung berbagai kebaikan bagi manusia sendiri dalam hidupnya), sedangkan perintah meninggalkan larangan-larangannya, tidak lain untuk menekankan manusia betapa ruginya melakukan hal-hal tersebut. Perintah melakukan hal yang baik dan meninggalkan hal yang buruk menjadi semakin penting karena jiwa manusia yang labil itu sering didominasi oleh sifat kekanak-kanakan dan kebodohan (sabwah) dalam mengikuti segala perintah Allah, dan sering terbuai kelalaian oleh beberapa keinginan yang jelek (al-syahawat), sehingga lupa terhadap larangan-larangan tersebut.

 

 

Kelima, Positivisme. Positivisme adalah suatu sistem filsafat yang dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857), yang mengakui hanya fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi, dengan hubungan obyektif fakta-fakta ini dan hukum-hukum yang menentukannya, meninggalkan semua penyelidikan menjadi sebab-sebab atas asal-usul tertinggi.

 

 

Positivisme merupakan bagian dari kerangka berfikir materialisme, yang menggunakan tolak ukur kebenaran dengan  metode rasional, empiris, eksperimental dan terukur. Oleh karenanya, sesuatu bisa dikatakan benar apabila memenuhi kriteria ini. Tentu saja, ukuran-ukuran ini tidak seluruhnya dapat digunakan untuk menguji kebenaran agama. Misalnya, bagaimana menyakini adanya surga dan neraka padahal secara empiris dan eksprimental tidak dapat dibuktikan keberadaannya. Begitu juga dengan malaikat, jin, iblis dan produk-produk metafisika lainnya.

 

 

Dalam konteks legal positivisme lebih berbahaya lagi, karena memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen). Untuk itu, dalam kacamata positivisme hukum negara tidak berwenang untuk melarang perbuatan hanya karena dinilai asusila. Negara tidak berhak untuk menghukum atau mati-matian mencegah hubungan seks antara seorang pria dan seorang wanita yang tidak terikat dalam perkawinan kalau mereka melakukannya secara tertutup dan pribadi.

 

 

Islam secara hakiki tidak memisahkan hukum dan moral, karena moral adalah inti hukum. Sasaran akhir agama adalah memperbaiki dan menyempurnakan moral manusia. Bahkan para ahli hukum seperti Muhammad Khalid Mas`ud menyatakan bahwa hukum Islam itu adalah a sistem of ethical or moral rules. Allah menurunkan syariat (hukum) Islam untuk mengatur kehidupan manusia, baik selaku pribadi maupun selaku anggota masyarakat. Hukum Islam melarang perbuatan yang pada dasarnya merusak kehidupan manusia, sekalipun perbuatan itu disenangi oleh manusia atau sekalipun umpamanya perbuatan itu dilakukan hanya oleh seseorang tanpa merugikan orang lain, seperti seorang minum minuman yang memabukkan (khamr). Dalam pandangan Islam perbuatan orang itu tetap dilarang, karena dapat merusak akalnya yang harusnya ia pelihara, walaupun ia membeli minuman tersebut dengan uangnya sendiri dan diminum dirumahnya tanpa mengganggu orang lain. Demikian perbuatan juga perbuatan hubungan seksual di luar nikah (zina), perbuatan tersebut mutlak dilarang siapapun yang melakukannya, walaupun mereka melakukannya itu dengan dasar suka sama suka, tanpa paksaan dan tidak merugikan orang lain.

 

 

Taqiyuddin An-Nabhani (1998) menyatakan bahwa menurut Islam hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan yang bertujuan untuk pelestarian jenis manusia (keturunan), bukan pandangan seksual semata. Oleh karena itu, Islam menganggap adanya pemikiran-pemikiran seksual ditengah-tengah masyarakat dapat membawa bahaya. Dan menganggap kenyataan fisik yang dapat membangkitkan nafsu seksual merupakan unsur yang dapat membawa kepada kebinasaan. Berdasarkan hal tersebut, maka Islam melarang khalwat antara laki-laki dan perempuan, tabarruj dan menampakkan perhiasan (aurat wanita) kepada laki-laki asing. Demikian juga Islam melarang laki-laki dan perempuan saling memandang yang disertai dengan syahwat. Membatasi kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan umum, serta menentukan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan hanya dalam dua keadaan, yaitu melalui pernikahan dan terhadap hamba sahaya.

 

 

Dengan demikian, Islam merupakan agama yang memberi pedoman hidup kepada manusia secara menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupan menuju tercapainya kebahagiaan hidup rohani dan jasmani, baik dalam kehidupan individunya, maupun dalam kehidupan masyaraktnya. Karena Tujuan Allah Swt mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat.

 

 

Maka dalam pandangan Islam, agama bukan saja boleh melakukan intervensi terhadap urusan negara. Lebih jauh dari itu, Islam harus menjadi dasar negara. Karena itu, negara harus menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum. Berdasarkan hal ini, hukum Islam harus mengatur segala aspek kehidupan. Bukan hanya masalah individual, moral, atau ritual. Tapi juga aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Namun dalam masalah ini Islam tidak bermaksud untuk menghancurkan kebebasan individu tetapi hanya mengontrolnya demi kepentingan masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri, dan karenanya juga melindungi kepentingannya yang sah (Muslehuddin, 1979).

 

 

Bahaya lain dari positivisme hukum adalah bahwa jika masyarakat tidak keberatan dengan budaya pornografi dan pornoaksi, maka nilai itu dianggap sebagai sebuah kebenaran. Orang yang menentang tradisi masyarakat tersebut bisa dikatakan manusia tidak beradab. Begitu juga suatu masyarakat menerima praktik pelacuran, perjudian, atau minuman keras, maka itu dianggap sebagai nilai yang benar.

 

 

Hukum Islam merupakan hukum yang given dari Tuhan, yang tidak memisahkan antara moralitas dan hukum dan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Hukum Islam bersumber kepada al-Qur’an dan sunnah, sementara konsesus dan nalar manusia merupakan sumber pelengkap (supplement). Hukum Islam merupakan fenomena obyektif di luar pemikiran dan nalar manusia, maka cenderung bersifat statis tidak dapat dirubah oleh manusia karena terjadinya perubahan perilaku dan budaya masyarakat. Maka dalam Islam negara perlu mengintervensi perilaku moral masyarakat, agar selalu sejalan dengan aturan-aturan Hukum Islam.

 

Melihat sepak terjang isme-isme di atas, tentu umat Islam khususnya di Indonesia sedang menghadapi ujian keimanan dan ketaqwaan yang sangat serius. Apalagi, pemikiran-pemikiran tersebut kadangkala dikemas dengan bungkusan yang menarik dan tidak jarang berhujjah dengan al-Qur’an dan hadits untuk melegitimasi kebenarannya, agar orang tertarik dan tergiur unruk mengikutinya. Untuk itulah, maka tidak ada cara lain untuk terhindar dari isme-isme tersebut, kecuali membentengi keimanan dan ketaqwaan serta meningkatkan pemahaman terhadap ilmu-ilmu keislaman secara baik dan benar. Wallahu a’lam bishawab [ATR]

 

 


 

 

 

 

Lihat JugaArtikel/Berita lainnya
  Webinar Sosialisasi Peran dan Potensi Zakat di Kota Palembang oleh Drs. Maruzi Tarmizi Selengkapnya
  Industri keuangan syariah Indonesia memiliki karakteristik pelayanan segmen ritel berbeda dengan Selengkapnya
  Wisuda STEBIS IG 2020 suasana tenang, hikmat dan penuh penghayatan Selengkapnya
  Wisuda ke 4 Kampus STEBIS IGM Palembang digelar dengan protokol kesehatan Selengkapnya
  STEBIS IGM Gelar Pelatihan Penyusunan Rencana Usaha UMKM PEKKA. dan Selengkapnya
  Pandemi Covid-19 mengharuskan mahasiswa belajar dari rumah dengan PJJ Selengkapnya
  Mahasiswa menyiapkan diri untuk Acara Bujang Gadis Kampus STEBIS IGM 2020 Selengkapnya
  M Diki Wahyudi Arisandi terpilih menjadi salah satu utusan yang bertabung dalam lembaga internasional Selengkapnya
  BAK STEBIS IGM hari ini memberikan informasi sistem akademik untuk Mahasiswa Baru Selengkapnya
  Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Selengkapnya
  PK2MB Sekolah Tinggi Ekonomi dan Bisnis Syariah IGM Hari Kedua bersama Bpk Kapolda Selengkapnya
  The International Conference On Environmenntal&Technology Of Law, Business Selengkapnya

Sumber : STEBIS IGM http://demo.stebisigm.ac.id
Selengkapnya : http://demo.stebisigm.ac.id/artikel/500/Dosen-Perbankan-Syariah-Havis-Aravik-menjadi-Narasumber-dalam-bedah-buku.html